DENPASAR - Perkara yang dihadapi Jero Gede Kepisah (Jero Kepisah) mendapatkan tanda tanya besar publik terhadap hukum agraria di Bali.
Ini jadi menarik lantaran Anak Agung Ngurah Oka (Ngurah Oka) yqng ditetapkan menjadi tersangka dan menjadi pesakitan atas tanah waris yang dikuasai keluarganya secara turun-temurun.
Kontroversial ini menjadi perhatian Wayan Setiawan seorang penggiat media sosial. Ia mengaku prihatin terhadap kondisi hukum yang ada di Bali ini. Dari kisah kasus yang mendera Wayan Sukena karena memelihara Landak Jawa, berkat atensi dan simpati netizen akhirnya ia dapat kembali menghirup udara bebas.
“Sebagai penggiat medsos, saya masih ingat, Presiden Joko Widodo pernah mengatakan ‘basmi mafia tanah’. Saya merasa terketuk hati mengenai kasus tanah yang menimpa keluarga Jero Kepisah, ” ungkap Wayan Setiawan saat berdialog dengan Ngurah Oka, di kediaman keluarga Jero Kepisah beberapa waktu lalu.
Ngurah Oka menjelaskan perkara ini berawal sekitar tahun 2014. Pelapor diketahui adalah Anak Agung Ngurah Eka Wijaya (Eka Wijaya) dari keluarga Jero Jambe Suci (Jero Suci), Desa Dauh Puri Kangin, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar Bali mendatangi kediaman Ngurah Oka di Jero Gede Kepisah, Kelurahan Pedungan, Denpasar Selatan.
Eka Wijaya mengaku berhak atas sejumlah bidang tanah waris berupa sawah seluas kurang lebih 8 hektar di Subak Kerdung, Kelurahan Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan dan kedatangannya untuk minta agar tanah waris tersebut dibagi.
Baca juga:
Pasangan Muda Mudi Mesum Terekam CCTV
|
Pelapor dan Terlapor Tak Ada Hubungan Saudara
Sontak, pernyataan pelapor itu membuat Ngurah Oka dan keluarga kaget. Mereka pun menolak permintaan itu lantaran tidak kenal dan tidak ada hubungan saudara. Terlebih, selama keluarga Jero Kepisah menguasai tanah tersebut sejak empat generasi leluhurnya tidak pernah ada pihak manapun yang mempermasalahkannya.
“Kami tidak ada hubungan saudara. Tidak ada hubungan memisan atau memindon (hubungan saudara sepupu, red). Bahkan kenal pun tidak. Selama kami upacara di merajan gede di sini (pura utama keluarga) dia (pelapor, red) juga tidak pernah datang, keluarganya tidak pernah datang. Karena memang tidak ada hubungan keturunan, ” ungkap Ngurah Oka, salah satu tetua keluarga Jero Kepisah.
“Saya tau orang ini pun baru-baru karena dia mengklaim. Kami ini keluarga Jero Kepisah, dia itu yang kami tau dari Jero Suci. Lain desa, lain kecamatan tidak ada hubungan saudara. Datang-datang kesini minta bagian, bikin keluarga kami di sini jengkel, tumben ketemu, ngomong, minta dibagi, ‘siapa kamu, saya bilang’, ” imbuhnya.
Upaya Mempidanakan Jero Kepisah
Merespon penolakan itu, AAEW memperkarakannya dengan membuat laporan polisi dengan tuduhan penyerobotan tanah (pasal 385 KUHP) dan pemalsuan dokumen otentik dalam hal ini silsilah keluarga (pasal 263 KUHP). Perkara itu diproses hingga Ngurah Oka ditetapkan sebagai tersangka.
Atas penetapan tersangka itu, pihak keluarga lantas mengajukan pra-peradilan yang mana putusan majelis hakim pra-peradilan Pengadilan Negeri (PN) Denpasar dalam amar putusannya menyatakan tidak terpenuhi unsur yang disangkakan terhadap Ngurah Oka.
“Artinya pasal 385 dan 263 KUHP yang disangkakan kepada Ngurah Oka sudah diputus oleh pengadilan pra peradilan PN Denpasar tidak terpenuhi. Akhirnya oleh penyidik dalam waktu kurang lebih satu bulan diterbitkanlah surat perintah penghentian penyidikan (SP3), ” kata Prof Dr Drs Agung Ngurah Agung SH MH CLA, kuasa hukum keluarga Jro Gede Kepisah, Selasa (5/11/24).
Berdasarkan SP3 itu, lanjutnya, pihak keluarga mengajukan permohonan membuka blokir pensertifikatan objek tanah tersebut di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bali dan pengajuan permohonan pensertifikatan melalui program PTSL (pendaftaran tanah sistematis dan lengkap) dapat disetujui oleh BPN dan terbitlah sertifikat (SHM).
Setelah terbit SHM, tanpa sepengetahuan pihak keluarga Jero Kepisah, ada laporan baru lagi ke Direktorat Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Bali dengan dugaan melanggar pasal 263 KUHP pemalsuan silsilah.
Laporan itu kata Ngurah Agung, sempat mandek sekian lama, namun Dirkrimum kemudian mengalihkan penanganan laporan tersebut ke Direktorat Kriminal Khusus (Dirkrimsus) dengan laporan baru sangkaan pasal 263 dan TPPU (tindak pidana pencucian uang).
“Dalam perjalanan kelanjutannya TPPU nya hilang dalam berkas sangkaannya pasal 263 KUHP ditangani oleh Dirkrimum Polda Bali. Harusnya kan pasal 263 KUHP itu di Krimum (Dirkrimum, red) yang menangani, ” kata Ngurah Agung.
Kejanggalan Proses Hukum Jero Kepisah
Yang sekarang terjadi, ungkap Ngurah Agung, jaksa di tahun 2023 dalam petunjuknya atas berkas yang dikirim penyidik Dirkrimsus Polda Bali, meminta agar penyidik terlebih dahulu membuktikan kepemilikan pihak yang sah melalui pengadilan perdata dan pengadilan tata usaha negara.
Namun, kata Ngurah Agung, kejanggalan terjadi. Jaksa saat ini justru menetapkan status berkas perkara lengkap (P-21) padahal petunjuk sebelumnya agar penyidik membuktikan status kepemilikan objek tanah yang disengketakan melalui peradilan perdata atau tata usaha negara belum dipenuhi.
Ngurah Agung mengatakan proses penetapan P-21 dalam kasus ini tidak lazim. Ia menegaskan bahwa penetapan status P-21 seharusnya tidak dilakukan tanpa memastikan semua petunjuk jaksa sebelumnya telah dipenuhi.
Penyidik seharusnya membuktikan status hak pelapor atas tanah itu terlebih dahulu, setelah terbukti baru kemudian dapat diproses secara pidana jika di dalamnya terdapat unsur perbuatan pidana yang dilakukan oleh terlapor.
“Yang paling penting dalam kasus ini adalah penegak hukum seharusnya minta pelapor membuktikan dulu bukti haknya atas tanah yang diklaim. Petunjuk dari Karowassidik (Kepala Biro Pengawasan Penyidikan) Polri saat kami melapor juga seperti itu. Agar penyidik Polda Bali (yang menangani laporan, red) memenuhi petunjuk jaksa yaitu membuktikan status keperdataan hak si pelapor atas objek tanah itu, ” tegasnya.
Ngurah Agung mengatakan pelapor mengklaim tanah kliennya dengan dokumen pipil dan dokumen eigendom verponding seperti pajak dan bukti bayar IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah), yang mana dokumen-dokumen tersebut, menurutnya, secara hukum kepemilikan tanah sudah tidak berlaku sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
“Jadi kalau pun dia (pelapor) punya pipil atau bukti lain tapi tidak didaftarkan ke negara, negara yang berhak atas tanah tersebut. Apalagi dia tidak menguasai fisik objek tanah yang diklaim ini. Jelas selama ini turun temurun selama empat generasi klien kami yang menguasai fisik objek tanah itu. Dan sekarang sudah dibuktikan dengan sertifikat hak milik (SHM), ” paparnya.
Sementra terkait silsilah, Ngurah Agung menggarisbawahi bahwa meskipun ada perbedaan pada silsilah yang digunakan kliennya dalam pengajuan sertifikat tanah antara bidang yang satu dengan yang lain, hal tersebut adalah sepenuhnya hak kliennya yang telah disepakati di internal keluarga.
“Perbedaan pada silsilah yang diakui keluarga tidak bisa dijadikan dasar pemalsuan. Itu adalah hak keluarga dan telah disepakati di antara mereka. Tidak bisa orang yang tidak ada hubungan keluarga kok mempermasalahkannya. Itu sepenuhnya hak klien kami berdasarkan kesepakatan di internal keluarga, ” tegasnya.
Jaksa Agung Ingatkan Jaksa Cermat dan Hati-Hati
Ngurah Agung juga mengungkapkan, bahwa Jaksa Agung Republik Indonesia dalam surat edarannya pernah mengingatkan seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi dan Negeri di Indonesia agar cermat dan berhati-hati dalam menangani laporan pidana yang terkait dengan kepemilikan tanah.
Dalam surat itu, Jaksa Agung menegaskan agar jaksa memastikan terlebih dahulu status kepemilikan tanah sengketa. Jika status bukti kepemilikannya jelas menurut ketentuan undang-undang, yakni telah bersertifikat hak milik (SHM), maka jika ada pihak yang melanggarnya, misalnya berupa penyerobotan tanah, maka kasus tersebut dapat dipidanakan.
Sebaliknya, jika belum jelas status kepemilikannya (belum ada SHM) maka kasus tersebut berada pada ranah perdata dan merupakan perkara perdata murni sehingga tidak selayaknya digiring dipaksakan masuk menjadi perkara pidana.
“Jadi kalau seperti ini (tanpa pembuktian hak pelapor atas tanah yang diklaim, red), ini indikasi pelanggaran. Jaksa telah melakukan pelanggaran dalam penetapan P-21. Jadi patut dicurigai, ada motif apa jaksa ini?, ” singgung Ngurah Agung.
Kejati Bali Sebut P-21 Sesuai Prosedur
Sebelumnya, Kasi Penkum Kejaksaan Tinggi Bali, Eka Sabana, memberikan pernyataan bahwa semua proses hukum yang berlangsung telah sesuai dengan prosedur yang berlaku. Menurutnya, seluruh alat bukti yang diserahkan sudah memenuhi syarat untuk mendukung dakwaan.
“Penuntut Umum telah melakukan penilaian atas alat bukti yang diperlukan dan telah dinyatakan lengkap (P-21) oleh penyidik. Jika ada keberatan dari kuasa hukum terdakwa, itu bisa diuji di pengadilan, ” kata Eka Sabana.
Pelapor Klaim Objek Sengketa Milik Leluhurnya
AA Ngurah Eka Wijaya melalui kuasa hukumnya, Agustinus Winjaya mengatakan kliennya melaporkan Ngurah Oka atas dugaan memalsukan silsilah leluhurnya, almarhum I Gusti Raka Ampug untuk memohon pensertifikatan tanah seluas kurang lebih 8 hektar di Subak Kerdung, Pedungan milik almarhum I Gusti Raka Ampug.
“Jadi seolah-olah I Gusti Raka Ampug ini adalah leluhurnya Ngurah Oka, padahal bukan, ” ungkapnya.
Lebih lanjut, Winjaya mengatakan tidak menempuh jalur perdata atau gugatan pengadilan tata usaha negara atas terbitnya SHM objek sengketa menjadi atas nama keluarga Jero Kepisah lantaran laporan dugaan pemalsuan silsilah sudah ada sebelum SHM tersebut terbit.
“Dasar pelaporan kami karena terlapor telah memalsukan silsilah leluhur klien kami, I Gusti Raka Ampug. Silsilah itu yang kemudian digunakan memohon penerbitan sertifikat objek tanah milik leluhur klien kami yang terletak di Subak Kerdung, Jalan Pulau Moyo (Denpasar Selatan, red), ” ungkapnya. (Tim)